Jumat, 22 April 2011

Bimbingan dan Konseling

Apakah bimbingan konseling itu? Mungkin yang kita pikirkan adalah seorang psikolog yang membantu kita mendapat jalan keluar untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan cara berbicara. Nah, kita akan lihat pengertian bimbingan dan konseling yang lebih spesifik.

Bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok agar mandiri dan bisa berkembang secara optimal, dalam bimbingan pribadi, sosial, belajar maupun karier melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdaarkan norma-norma yang berlaku (SK Mendikbud No. 025/D/1995)

Adapun beberapa tujuannya adalah : 

  1. Merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di masa yang akan datang.
  2. Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki peserta didik secara optimal.
  3. Menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya.
  4. Mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.

Ada beberapa asas-asas yang dapat membantu mewujudkan keterlaksananya pelayanan bimbingan dan konseling tersebut :
  1.  Asas Kerahasiaan : guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.
  2. Asas kesukarelaan : guru pembimbing berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut.
  3. Asas keterbukaan, : guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan peserta didik (konseli). Keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri peserta didik yang menjadi sasaran layanan/kegiatan. Agar peserta didik dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahuu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
  4.  Asas kegiatan : guru pembimbing perlu mendorong peserta didik untuk aktif dalam setiap layanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya.
  5.  Asas kemandirian : Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian peserta didik.
  6.   Asas Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
  7.  Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu.
  8. Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang berlaku.
  9. Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional.
  10.  Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (konseli) mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli.
Macam-macam layanan bimbingan disekolah adalah :

  1.   Layanan Orientasi :  layanan yang memungkinkan peserta didik (klien) memahami lingkungan (seperti sekolah) yang baru dimasuki peserta didik, untuk mempermudah dan memperlancar berperannya peserta didik di lingkungan yang baru itu.
  2.  Layanan Informasi : layanan yang memungkinkan peserta didik (klien) menerima dan memahami berbagai informasi (seperti informasi pendidikan dan jabatan) yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan pengambilan keputusan untuk kepentingan peserta didik (klien).
  3.   Layanan Penempatan dan penyaluran : layanan yang memungkinkan peserta didik (klien) memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat (misalnya penempatan dan penyaluran di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, kegiatan ektrakulikuler) sesuai dengan potensi, bakat, minat erta kondisi pribadinya.
  4. Layanan pembelajaran :  layanan yang memungkinkan peserta didik (klien) mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam menguasai meteri pelajaran yang cocok dengan kecepatan dan kemampuan dirinya, serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya.
  5.   Layanan Konseling Individual : layanan yang memungkinkan peserta didik (klien) mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) dengan guru pembimbing dalam rangka pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi yang dideritanya.
  6.   Layanan Bimbingan Kelompok :  layanan yang memungkinkan peserta didik (klien) secara bersama-sama melalui dinamika kelompok memperoleh berbagai bahan dari nara sumber tertentu (teruama dari guru pembimbing) dan/atau membahas secara bersama-ama pokok bahasan (topik) tertentu yang berguna untuk menunjanguntuk  pemahaman dan kehidupannya mereka sehari-hari dan/atau untuk pengembangan kemampuan sosial, baik sebagai individu maupun sebagai pelajar, serta untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan tertentu.
  7. Layanan Konseling Kelompok : layanan yang memungkinkan peserta didik (klien) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui dinamika kelompok, masalah yang dibahas itu adalah maalah-masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok.




Referensi : 
Sukadji, S. (2000). Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok: Lembaga Pengambangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
http://www.a741k.web44.net/BIMBINGAN%20DAN%20KONSELING.htm


PSIKOLOGI SEKOLAH DAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Psikologi pendidikan merupakan gabungan dari dua bidang studi yang berbeda.

Pertama adalah psikologi yang mempelajari segala sesuatu tentang pikiran dan perilaku manusia serta hubungannya dengan manusia. Tentu saja tidak hanya mempelajari manusia dalam kesendiriannya, melainkan juga mempelajari manusia dalam hubungannya dengan manusia lain.
Kedua adalah pendidikan itu sendiri atau lebih khusus adalah sekolah. Jadi, sebagai sebuah subdisiplin ilmu sendiri dalam psikologi, psikologi pendidikan memfokuskan diri pada pemahaman proses pengajaran dan belajar yang mengambil tempat dalam lingkungan formal.
Karena berkecimpung di ranah sekolah, istilah psikologi pendidikan dan psikologi sekolah sering dipertukarkan. Teoris dan peneliti lebih diidentifikasi sebagai psikolog pendidikan, sementara praktisi di sekolah lebih diidentifikasi sebagai psikolog sekolah. Psikologi pendidikan mengambil masalah-masalah yang dialami oleh orang muda dalam pendidikan yang mencakup masalah kesulitan belajar atau masalah emosi dan sosial. Mereka mengambil tugas untuk membantu proses belajar anak dan memampukan guru menjadi lebih sadar akan faktor-faktor social yang berkatinan dengan pengajaran dan belajar. Psikolog pendidikan biasa bekerja di lingkungan sekolah, perguruan tinggi dan di lingkungan pendidikan anak, terutama bekerja dengan guru dan orang tua. Mereka dapat bekerja secara langsung dengan anak (misal memeriksa perkembangan, memberikan konseling) dan secara tidak langsung (dengan orang tua, guru dan profesional lainnya). Karena harus bekerja dengan manusia, psikolog pendidikan haruslah familier dengan pendekatan-pendekatan tradisional tentang studi perilaku, humanistik, kognitif dan psikoanalis. Mereka juga harus sadar dengan teori dan riset yang muncul dari ranah tradisional psikologi seperti perkembangan (Piaget, Erikson, Kohlberg, Freud), bahasa (Vygotsky dan Chomsky), motivasi (Hull, Lewin, Maslow, McClelland), testing (intelegensi dan kepribadian) dan interpretasi tesnya.

 Karena akan bekerja dengan pendidikan, seorang yang mempelajari materi ini perlu memperhatikan hal-hal berikut.
1. Proses perkembangan siswa
proses ini tentu saja harus disadari oleh individu yang bekerja dalam pendidikan. Perkembangan siswa – terlebih dalam ranah cipta – dengan segala variasi dan keunikannya merupakan modal siswa untuk belajar, apapun halnya.
2. Cara belajar siswa
dalam hal ini berkaitan pula dengan kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dalam belajar.
3. Cara menghubungkan belajar dan mengajar
4. Pengambilan keputusan untuk pengelolaan proses belajar mengajar.

Metode yang digunakan dalam psikologi pendidikan adalah
1. Metode eksperimen
Dalam psikologi pendidikan, metode ini digunakan untuk menguji keabsahan dan kecermatan kesimpulan yang ditarik dari penelitian dengan menggunakan metode yang lain.
2. Metode kuisioner
3. Metode studi kasus
Digunakan untuk memperoleh gambaran rinci tentang aspek-aspek psikologi siswa atau sekelompok siswa. Studi ini biasanya diikuti oleh studi lain yang berskala lebih besar untuk mencapai generalisasi hasil tes. Mengapa demikian? Kesimpulan hasil studi kasus dihasilkan dari penelitian terhadap sejumlah kecil subjek yang tentu saja akan sulit untuk dijadikan sampel dari sebuah populasi yang besar. Lazimnya, fenomena yang diselidiki dengan metode ini diikuti terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Bahkan, tak jarang diperlukan waktu bertahun-tahun untuk menghimpun data.
4. Metode penyelidikan klinis
Hanya digunakan oleh ahli psikologi klinis atau psikiater pada mulanya. Namun, seiring dengan perkembangan jaman, dimulai oleh Jean Piaget, metode ini digunakan dalam ranah pendidikan. Sasaran utama penggunaan metode ini adalah untuk memastikan sebab-sebab kemunculan ketidaknormalan perilaku siswa.


Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Anak dengan kebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan secara simpel sebagai anak yang lambat (slow) atau mangalami gangguan (retarded) yang tidak akan pernah berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya. Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti disability, impairment, dan Handicap. 
  1. Disability : keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari impairment) dalam batasan normal
  2. Impairment: kehilangan atau ketidaknormalan dalam hal psikologis, atau struktur anatomi atau fungsinya, biasanya digunakan pada level organ.
  3. Handicap : Ketidak beruntungan individu yang dihasilkan dari impairment atau disability yang membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang normal pada individu.


Layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan melalui tiga macam lembaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama sehingga ada SLB untuk anak dengan hambatan penglihatan (Tunanetra), SLB untuk anak dengan hambatan pendengaran (Tunarungu), SLB untuk anak dengan hambatan berpikir/kecerdasan (Tunagrahita), SLB untuk anak dengan hambatan (fisik dan motorik (Tunadaksa), SLB untuk anak dengan hambatan emosi dan perilaku (Tunalaras), dan SLB untuk anak dengan hambatan majemuk (Tunaganda). Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus. Sementara itu pendidikan terpadu adalah sekolah reguler yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru sedikit sekolah yang mau menampung anak berkebutuhan khusus. Sebagian besar yang lain masih menolak dan keberatan menerima anak berkebutuhan khusus di sekolah regular (umum).

Disini, saya akan membahas salah satu contoh disability, contohnya adalah disleksia (learning disability). Disleksia adalah penurunan kemampuan otak untuk menerjemahkan gambar tertulis yang diterima dari mata ke dalam bahasa yang bermakna dan merupakan ketidakmampuan belajar yang paling umum terjadi pada anak-anak.  Disleksia merupakan kelainan dengan dasar kelainan neurobiologis dan ditandai dengan kesulitan dalam mengenali kata dengan tepat atau akurat dalam pengejaan dan dalam mengode simbol. Terdapat dua macam disleksia, yaitu : 
  1. developmental dyslexia : bawaan lahir karena faktor genetis atau keturunan. Penyandang disleksia akan membawa kelainan ini seumur hidupnya atau tidak dapat disembuhkan. Tetapi, anak-anak tersebut memiliki tingkat kecerdasan normal atau bahkan diatas rata-rata.
  2. acquired dyslexia itu awalnya individu normal, tetapi menjelang dewasa mengalami cedera otak sebelah kiri dan bisa menyebabkannya menjadi disleksia


Beberapa masalah yang dialami oleh penyandang disleksia :
  1. Masalah fonologi : berhubungan dengan huruf dan bunyi. Misalkan, mereka sulit membedakan "paku" dan "palu". Hal ini bukan disebabkan oleh masalah pendengaran melainkan berkaitan dengan proses pengolahan/input dalam otak.
  2. Mengingat perkataan
  3. Penyusunan yang sistematis atau berurutan
  4. masalah dengan ingatan jangka pendek
  5. Pemahaman sintaks : kebingungan dalam memahami tata bahasa, terutama jika dalam waktu yang bersamaan mereka menggunakan dua atau lebih bahasa yang memiliki tata bahasa yang berbeda. Misal, dalam bahasa indonesia : tas merah --> red bag (bahasa inggris)
Sekolah inklusi adalah sekolah yang menerapkan beberapa kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan anak. Sehingga menurut saya, seorang anak penyandang disleksia seperti yang telah dijelaskan diatas memiliki kecerdasan normal ataupun mungkin diatas rata-rata, sehingga jika mereka dimasukkan ke SLB mereka akan frustasi dan keadaan itu bukannya memperbaik keadaan melainkan sebaliknya. Jika anak tersebut di masukkan ke sekolah biasa dengan sistem inklusi, mereka dapat berinteraksi dengan anak-anak normal lainnya, mereka belajar menyesuaikan diri dan setelah lulus sekolah nantinya mereka telah siap bekerja dalam ruang lingkup sosial. Dengan berinteraksi dengan anak normal lainnya, hal ini tentu saja dapat memotivasi diri untuk menjadi lebih baik dan dapat menjadi seperti anak-anak lainnya, walaupun ada keterbatasan dalam diri mereka itu. Mereka hanya membutuhkan waktu lebih dengan kemampuan normal, misalnya jika anak normal memerlukan waktu setengah jam untuk menyelesaikan tugas, anak disleksia memerlukan waktu lebih banyak mungkin 45 menit sampai 1 jam untuk menyelesaikannya. Tetapi, keahlian anak disleksia tetap ada, mereka juga memiliki bakat yang jika diasah, juga dapat menghasilkan anak yang luar biasa..

Referensi :

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)

Pendidikan anak usia dini (PAUD) di Indonesia ini masih sangat kurang jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya yang berusaha mengembangkan potensi anak sejak masih kecil atau dalam masa-masa golden age mereka. Pada masa tersebut seorang anak harus dipersiapkan “wadah” yang mampu untuk menampung setiap materi, ilmu atau pemikiran dengan mumpuni baik secara jasmani, mental maupun pikirannya dengan semaksimal mungkin untuk menghadapi setiap persoalannya di masa yang akan datang dalam hidupnya kelak.
Mungkin masyarakat Indonesia bahkan pemerintah kurang memperhatikan anak-anak yang berusia 0-6 tahun, padahal sebenarnya mereka merupakan bibit-bibit yang sangat berkualitas jika telah diperhatikan sejak usia dini-nya. 
Setiap anak mempunyai potensi yang unik sejak ia lahir baik secara fisik (jasmani) maupun non-fisik (hati, akal, dsb), dan kuncinya adalah ketika anak tersebut berumur 0-6 tahun. Pada usia tersebut, potensi anak seharusnya sudah mulai dibangun, sehingga kemampuan atau keahlian anak akan berkembang dengan baik, dan itu merupakan aset negara yang sangat menguntungkan.
Dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas pada pasal 28, dijelaskan ada 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi dalam pengembangan anak usia dini yaitu:
  1. pembinaan anak usia dini merupakan pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun.
  2. pengembangan anak usia dini dilakukan melalui rangsangan pendidikan.
  3. pendidikan anak usia dini bertujuan untuk dapar membantu pertumbuhan dan pengembangan jasmani dan rohani (holistik).
  4. pengembangan dan pendidikan anak usia dini merupakan persiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Untuk bidang SDM dalam pengembangan PAUD ini dijabarkan dalam PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 29 yang menjelaskan bahwa standar minimal bagi Pendidik PAUD adalah D-IV atau Sarjana dengan latar belakang pendidikan PAUD, psikologi atau pendidikan lainnya yang telah bersertifikasi profesi guru untuk PAUD. Yang kesemuanya merupakan bentuk perhatian Pemerintah betapa pentingnya PAUD bagi bangsa.
Dilema Perkembangan PAUD di Indonesia
Menjamurnya pendidikan anak usia dini melalui pendidikan nonformal mengakibatkan tidak terkontrolnya penanganan terhadap anak-anak usia dini dengan baik, padahal masa emas tersebut merupakan masa-masa yang teramat penting dan tidak dapat datang untuk yang kedua kalinya dalam pembentukan otak, fisik dan jiwa seorang anak.
Saat ini pengembangan PAUD di Indonesia telah menimbulkan dilema, upaya untuk dapat memberikan pelayanan PAUD kepada setiap anak yang ada di Indonesia, akan tetapi banyak hal yang tidak dapat dipenuhi dengan semestinya. Dan ini bisa menyebabkan perkembangan anak yang tidak optimal sesuai dengan keinginan yang dituju, malah akan lebih membahayakan bila tidak ditangani secara cepat dan tepat karena semua ini berhubungan persiapan segenap potensi yang ada guna dapat membangun seorang insan manusia dalam mengarungi kehidupannya kelak.
Tantangan Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia
Sampai saat ini masi ada beberapa masalah yang dapat menghambat perluasan kesempatan dan pemerataan akses mengikuti PAUD serta peningkatan mutu PAUD serta peningkatan mutu PAUD di Indonesia, namun semua itu kita anggap sebagai tantangan yang menarik sehingga untuk mengatasinya diperlukan kreatifitas dan inovasi yang berkelanjutan.
Tantangan yang prioritas untuk diatasi antara lain :
  1. Jumlah anak yang belum mengikuti PAUD masih cukup besar.
  2. Sarana dan prasarana belajar secara kuantitatif maupun kualitatif masi terbatas
  3. Kompetensi sebagian besar guru PAUD masih belum memadai karena sebagian besar dari mereka tidak berasal dari latar belakang pendidikan PAUD dan mereka belum memperoleh pelatihan yang berkaitan dengan konsep dan ilmu praktis tentang PAUD.
  4. Perbedaan Angka Partisipasi Kasar (APK) peserta PAUD di daerah perkotaan dan perdesaan masih sangat besar.

Berbeda dengan Luar Negeri, PAUD di Indonesia memiliki keunikan khusus, karena di luar negeri PAUD pada umumnya hanya dibedakan menjadi 2 macam yaitu : Kindergarden atau Play Group dan Day Care, sedangkan di Indonesia menjadi 4, yaitu : 
  1. Taman Kanak-Kanak (Kindergarten)
  2. Kelompok Bermain (Play Group)
  3. Taman Penitipan Anak (Day Care)
  4. PAUD sejenis (Similar with Play Group)

Berbeda dengan negara lain dimana penyelenggaraan PAUD hanya untuk menstimulasi kecerdasan anak secara komprehensif dan pengasuhan terhadap anak, karena aspek kecerdasan yang dikembangkan hanya meliputi kecerdasan intelektual,  emosional, estetika, dan social serta pengasuhan. Di Indonesia potensi kecerdasan tersebut juga diberikan juga pendidikan untuk mengembangkan potensi kecerdasan spiritual yang dilaksanakan melalui pendekatan olah pikir, rasa, dan olahraga. Disamping itu, juga diberikan pengetahuan dan pembinaan terhadap kondisi kesehatan gizi peserta didik. Sehingga penyelenggaraan PAUD di Indonesia disebut juga penyelenggaraan PAUD secara "Holistik dan Integratif"

Referensi : 

Selasa, 05 April 2011

Tiga Fenomena Dengan Pembahasannya

Kelompok 19 :
  1. Jilly Chandra ( 10-022 )
  2. Veronica ( 10-026 )
  3. Venti Ayu Wibawa ( 10-070 )
  4. Dede Suhendri ( 10-078 )
Tiga fenomena yang kami bahas adalah:
  1. Fenomena Tawuran Antar Pelajar
  2. Kasus Perilaku Pelanggaran Disiplin Siswa di Sekolah
  3. Fenomena Kekerasan di Lembaga Pendidikan
Fenomena 1
Pada artikel ini, diceritakan bahwa perkelahian antar pelajar yang umumnya remaja sangat merugikan baik bagi pelajar maupun orang berada di sekitar lokasi tawuran. Hal ini terjadi hanya karena hal sepele, yaitu dicetaknya gol oleh pemain X yang tidak disenangin 1 suporter yang mendukung tim Y.

Teori Psikologi Pendidikan
Teori konstruktivisme  adalah pendekatan untuk pembelajaran yang menekankan bahwa individu akan belajar dengan baik apabila mereka secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pemahaman. Supporter yang tidak senang tidak memahami proses ini. Dia tidak senang tim yang dia dukung kalah, sehingga menjadi dendam, Padahal di setiap pertandingan harus ada yang menang dan yang kalah. Dengan kata lain, supporter tidak memahami dengan pasti apa yang harus dan tidak harus dilakukannya.

Teori Pendidikan Keluarga
Berdasarkan teori pendidikan keluarga, supporter mungkin tidak dibina dengan baik dari kecil. Orang tua dalam keluarga harus bisa menciptakan suasana keluarga yang damai dan tentram dan mencurahkan kasih sayang yang penuh terhadap anak-anaknya, meluangkan waktunya untuk sering berkumpul dengan keluarga, mengawasi proses-proses pendidikan anak dan melakukan tugas masing-masing ayah dan ibu. Kurangnya keenam hal ini dapat menyebabkan penyimpangan pada anak, seperti dendam yang dialami supporter tersebut.

Teori Bimbingan sekolah
Salah satu teori gestalt adalah Perilaku bertujuan (pusposive behavior). Artinya bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya. Supporter membuat perilaku tawuran agar orang lain dapat mengalah, sehingga tim yang didukung supporter menang.

Fenomena 2
Yang menjadi subjek dalam pembahasan atau analisis permasalahan ini adalah siswa yang sering melakukan pelanggaran disiplin sekolah. Selanjutnya jika dikaji dari data tentang siswa yang sering melakukan pelanggaran sekolah, ternyata dikemukakan bahwa umumnya siswa yang sering membolos sekolah juga melakukan pelanggaran disiplin lain, misalnya sering terlambat datang ke sekolah, meninggalkan kelas atau sekolah sebelum waktunya, suka mengganggu teman, sering melalaikan tugas sekolah, dan berpakaian tidak rapi.

Teori Psikologi Pendidikan
Berdasarkan teori psikologi pendidikan, selain peranan motivasi, manajemen kelas yang efektif akan memaksimalkan kesempatan belajar murid. Kelas adalah multidimensional, sebuah seting untuk banyak aktivitas. Kurangnya manajemen kelas dapat menyebabkan murid malas belajar, bosan dan melakukan hal-hal lain.

Teori Pendidikan Keluarga
Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan awal bagi anak karena pertama kalinya mereka mengenal dunia terlahir dalam lingkungan keluarga dan dididik oleh orang tua. Sehingga pengalaman masa anak-anak merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan selanjutnya, keteladanan orang tua dalam tindakan sehari-hari akan menjadi wahana pendidikan moral bagi anak, membentuk anak sebagai makhluk sosial, religius, untuk menciptakan kondisi yang dapat menumbuh kembangkan inisiatif dan kreativitas anak. Orang tua yang buruk akan menghasilkan perilaku anak yang buruk pula.

Teori Bimbingan Sekolah
Berdasarkan teori Gestalt, pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) adalah kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang bermakna akan membuat murid tidak cepat bosan, dan tidak melakukan hal lain pada waktu pembelajaran berlangsung.

Fenomena 3
Secara umum, kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak menyenangkan atau merugikan orang lain, baik secara fisik (pemukulan menggunakan tangan atau alat, penamparan, dan tendangan) maupun psikis (mengejek atau menghina, mengintimidasi, menunjukkan sikap atau ekspresi tidak senang, dan tindakan atau ucapan yang melukai perasaan orang lain). Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik semata, tetapi justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si korban. Dewasa ini, tindakan kekerasan dalam pendidikan sering dikenal dengan istilah bullying.

Pada kenyataannya, praktik bullying ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh teman sekelas, kakak kelas ke adik kelas, maupun bahkan seorang guru terhadap muridnya. Terlepas dari alasan apa yang melatarbelakangi tindakan tersebut dilakukan, tetap saja praktik bullying tidak bisa dibenarkan, terlebih lagi apabila terjadi di lingkungan sekolah.

Teori Psikologi Pendidikan
(Behaviorisme)Teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan. Sedangkan pada kasus diatas, perlakuan yang diberikan oleh senior kepada juniornya, malah merangsang junior belajar untuk melakukan hal yang sama. INi adalah suatu pembelajaran, pembelajaran ke arah negatif karena ia merasa perlakuan ini adalah warisan turun temurun sehingga merupakan perlakuan yang harus dilakukan.

Teori Pendidikan Keluarga
Berdasarkan teori pendidikan keluarga, kekerasan yang dilakukan oleh pelajar pada teman-temannya, juga merupakan suatu perilaku merupakan efek dari lingkungan keluarganya. Perhatian yang kurang dari orang tua juga adalah salah satu faktor yang mengakibatkan pelajaran melakukan hal-hal kasar di lingkungan tempat dia berada, tujuannya untuk menarik perhatian orang sehingga ia akan merasa diperhatikan oleh orang sekitarnya. Selain itu, perlakuan kasar juga dapat berasal dari perlakuan yang ia terima di rumah, sehingga pelajar tersebut merasa bahwa perlakuan kasar merupakan suatu hal yang wajar.

Teori Bimbingan Sekolah
Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa. Disini, pelajar salah atau gagal menerapkan prinsip insight ini, sehingga anggapan atau persepsi mereka tentang perlakuan kasar tersebut tidak sesuai dengan yang ada dimasyarakat. Seperti yang dilakukan pelajar tersebut, mereka melakukan kekerasan pada temannya, karena mereka telah salah mengaitkan perilaku yang kasar tersebut dengan kondisi saat ia melakukannya.

Kasus:

Referensi:
Santrock., J.W. (2008). Psikologi Pendidikan (edisi kedua). Jakarta: Prenada Media Group